Dulu Warakas berjuluk pager kumis alias panas, gersang, kumuh, dan miskin. Citra "hitam" itu cukup lama melekat di benak hingga banyak orang ngeri dan sungkan memasuki wilayah ini. Kini, salah satu kelurahan di Tanjung Priok, Jakarta Utara ini tampil lebih bersih, tertata, dan hijau. Bukan cuma itu, Warakas pun terpilih mewakili Jakarta Utara diajang Jakarta Green & Clean 2008. Bagaimana Warakas bisa berubah?
Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Ungkapan itu benar-benar diaplikasikan warga Warakas untuk merubah citra lalunya. Bila pada era tahun 80-an, kampung ini identik dengan gang-gang sempit, kumuh, padat, lengkap dengan pemuda-pemuda nongkrong yang kerap membuat onar, dan pernah menjadi tempat mangkal tokoh dunia hitam, Johnny Indo, sebelum mendekam di Nusa Kambangan. Citra itu membuat orang luar segan datang ke kampung ini. Bahkan saga pun masih menganggap kesan gersang dan "hitam" itu masih terus melekat di kampung Utara Jakarta ini.
Namun, ketika rombongan kami dari Balikpapan yang terdiri dari Camat Balikpapan Selatan, Lurah klandasan Ilir, Ketua LPM Klandasan Ilir, Ketua Forum RT Klandasan Ilir dan 2 Orang Ketua RT dari Klandasan Ilir berkesempatan mengunjungi Warakas pada Tanggal 29 Nopember kemarin, imej itu pudar sudah.
Saya hampir tidak percaya melihat perubahan Warakas ketika mobil yang kami tumpangi memasuki wilayah tersebut. Jalan utamanya sudah beraspal mulus, di kiri-kanan tersedia selokan air yang berada persis di deretan rumah yang tertata. Yang lebih menarik lagi, kesan hijau lekas tertangkap berkat pepohonan besar yang tumbuh di jalan utama. Tak ada kesan kumuh di sana seperti yang selama ini saya bayangkan tentang Warakas.
Terlebih setelah memasuki gang-gang di beberapa RT di kelurahan tersebut. Hampir setiap rumah dihijaukan dengan bermacam tanaman hias baik yang ditanam di pot besar dan kecil maupun di perkarangan sempit. Gang-gang yang dulu begitu kumuh kini berubah menjadi gang dengan deretan rumah yang tertata rapih dan hijau oleh bermacam tumbuhan. Rimbun dan teduhnya pepohonan di gang-gang itu kontan membunuh citra gersang yang pernah melekat.
Adalah Rumah Kompos yang berjasa menghijaukan Warakas seperti sekarang ini. Rumah Kompos yang diprakarsai oleh Komunitas Peduli Lingkungan (KPL) Kembang Mawar (Kebersamaan Membangun Masyarakat Warakas) ini menjadi pusat pengolahan sampah organik di RW 011 Kelurahan Warakas. Kembang Mawar pun melatih warganya untuk memilah-milah sampah (organik, non-organik, dan limbah) dan menjadikannya barang berguna seperti kompos, tas, pot, dan lainnya.
Disetiap halaman rumah warga, kami melihat lubang-lubang biopori yang diberi casing paralon 3 Inc.
Menurut Eko Suratmo (60), Ketua RW 011 setiap halaman rumah memiliki paling sedikit 5 lubang biopori yang berguna sebagai resapan air juga memasukan sampah basah yang bermaafaat untuk menyuburkan tanah selain itu seluruh sampah dapur rumah tangga di RW ini dikumpulkan di Rumah Kompos lalu diolah menjadi pupuk kompos organik dan kemudian dibagikan ke warga untuk digunakan menyuburkan tanaman di depan rumahnya. "Kami mulai menanam sejak tahun 2000 dari swadaya masyarakat sendiri. Hasilnya sekarang Warakas lebih tertata dan hijau," kata Eko.
Di Rumah Kompos yang dulunya tempat pembuangan sampah liar, kami melihat proses pembuatan kompos organik lewat pengomposan sampah secara sederhana. Pertama sampah organik berupa sayur-mayur, dedaunan dan lainnya dicacah atau digiling kemudian disirami cairan M-4 yang sudah dicampur dengan gula merah ataupun gula pasir sesuai volume sampah. Setelah itu dimasukkan ke kotak kayu persegi empat lalu ditutup untuk difermentasi selama lebih kurang 3 Minggu. Setiap Minggu, sampah itu diaduk dan dibalik-balik agar merata. Setelah selesai difermentasi, sampah yang sudah menghitam itu ditempatkan di kotak kayu lainnya untuk dikeringkan kemudian digiling hingga menjadi pupuk kompos organik. Lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik.
"Kini masing-masing RW di Warakas punya lokasi pengelolaan sampah lengkap dengan mesin pengelolaannya. Satu RW bisa menghasilkan 100 Kg pupuk untuk dipakai sendiri. Bila ada warga luar lain yang membutuhkan dijual Rp 5.000 per kantung," jelas Eko.
Gerakan peduli lingkungan dengan pengolahan sampah diikuti dengan penghijauan memberi manfaat langsung bagi masyarakat setempat. Maryati (45) warga RT 11 Warakas yang sudah berdomisili sejak 1960 misalnya, mengaku mendapatkan banyak manfaat setelah adanya Rumah Kompos dengan gerakan penghijauannya. "Sekarang wilayah kami jadi lebih adem dan hijau. Setiap pagi saya sering mendengar kicauan burung yang hinggap di beberapa pohon. Dulu, itu nggak ada sama sekali," jelas Maryati di depan rumahnya yang rindang oleh beberapa tanaman pot.
Manfaat itu pun diperoleh Warakas sebagai sebuah kelurahan. Berkat gerakan tersebut Warakas kerap memenangkan lomba kebersihan tingkat kelurahan seJakarta Utara. Dan tahun ini, Warakas terpilih menjadi wakil Jakarta Utara dalam ajang Jakarta Green Clean 2008.
Warakas dengan rumah komposnya, bukan cuma berhasil membunuh citra kumuh dan gersang menjadi lebih tertata dan hijau. Kini justru menjadi daerah tujuan orang untuk berwisata ekologi, belajar bagaimana mengelola sampah dan menghijaukan lingkungan secara swadaya.